Saat Perak Jadi Uang Jajan: Cerita Menarik Koin Dirham di Masa Lalu

Coba kita lihat dompet kita sekarang. Isinya mungkin beberapa lembar uang kertas dan kartu, atau bahkan kita lebih sering memakai dompet digital di ponsel.

Tapi tahukah kamu, ratusan tahun yang lalu, "uang" itu wujudnya sangat berbeda? Di banyak belahan dunia, uang yang paling diandalkan untuk jual beli sehari-hari adalah kepingan logam perak.

Mari kita kenalan dengan salah satu yang paling terkenal, yaitu Dirham.

"Uang Asli" vs "Uang Kertas"

Apa bedanya koin perak Dirham dengan uang Rp50.000 yang kita pegang?

  • • Uang Kertas: Selembar uang Rp50.000 berharga karena ada tulisan angka "50.000" dan jaminan dari negara (Bank Indonesia). Kertasnya sendiri, jika polos, tentu tidak ada nilainya.
  • • Koin Dirham: Jika sebuah koin Dirham (misalnya) setara dengan Rp50.000, itu karena bahan perak di dalam koin itu memang bernilai Rp50.000. Tulisannya hanya sebagai penanda keaslian.

Perbedaannya sangat jelas: nilai uang kertas ada pada "janjinya", sedangkan nilai koin Dirham ada pada "bendanya". Kalaupun koin itu meleleh, bongkahan peraknya tetap bernilai.

Mengapa Harus Perak?

Di masa lalu, ada banyak logam. Ada emas, ada besi. Tapi mengapa perak yang jadi pilihan untuk uang pasar?

Ternyata, perak itu "pas".

  • • Emas (Dinar): Nilainya terlalu tinggi. Emas biasanya dipakai untuk urusan besar, seperti membeli tanah, membiayai kapal dagang, atau urusan kerajaan. Sulit kalau harus dipakai membeli seekor ayam di pasar.
  • • Besi atau Tembaga: Nilainya terlalu kecil dan gampang rusak (berkarat). Kita butuh sekantong penuh koin besi hanya untuk membeli sepotong roti.

Perak ada di tengah-tengah. Nilainya pas untuk transaksi harian, bentuknya kuat, tidak mudah berkarat, dan cukup langka sehingga tidak semua orang bisa membuatnya.

Lalu, Mengapa Sekarang Kita Pakai Kertas?

Seiring berjalannya waktu, perdagangan menjadi semakin besar. Membawa-bawa karung berisi koin perak untuk berdagang tentu sangat merepotkan dan berat.

Di sinilah muncul ide "surat berharga". Para pedagang besar mulai menitipkan koin-koin perak mereka di tempat yang aman (cikal bakal bank). Sebagai gantinya, mereka mendapat selembar surat bukti atau kwitansi.

Lama-kelamaan, orang sadar bahwa berdagang memakai "surat bukti" ini jauh lebih ringan dan praktis. Koin peraknya sendiri tersimpan aman di brankas. Justru surat-surat buktinya inilah yang beredar dari tangan ke tangan.

Surat bukti inilah yang pelan-pelan berevolusi menjadi uang kertas yang kita kenal sekarang.

Pelajaran dari Sekeping Koin Kuno

Kisah Dirham ini mengingatkan kita bahwa apa yang kita sebut "uang" bisa berubah bentuk. Namun, perak tetaplah logam berharga yang nilainya diakui ribuan tahun, bukan karena janji, tapi karena wujud aslinya.